7 Feb 2018

MENYESUAIKAN DIRI DENGAN PARA NENEK



Beberapa waktu yang lalu saya menerima surat bernada murung :
            Sejak tulisan anda yang mengatakan bahwa sesungguhnya nenek bukanlah pembuat masalah, malah menanggung masalah, saya dan ibu-ibu  muda lain ingin melemparkan buku itu kemuka mereka. Percayalah, memang sesungguhnya nenek yang mencari-cari perkara.
            Bibit kesulitan yan pertama muncul ketika aku mulai hamil. Mertuaku hampir selalu mengatakan, “Mudah-mudahan anak itu nanti mirip ayahnya,” atau, “Kuharap dia nanti sepintar ayahnya”.
            Kemudian ketika bayi itu telah lahir, aku selalu menjadi sasaran kesalahan, khususnya mengenai latihan kebelakang (menurutnya harus dengan disiplin keras), lalu penolakanku untuk memasakkan makanan. Lalu kebiasaanku membiarkan anakku memeriksa segala sesuatu sendiri yang akhirnya menghasilkan berantakan disana-sini. Menurut mertuaku dia berpengalaman, jadi lebih tahu akan segala sesuatu dan patut diturut segala nasehatnya. Memang ku akui aku menolak nasehatnya yang baik hanya karena disampaikan dengan cara diktator. Tetapi hal itu diterimanya sebagai sentimen pribadi atau penghinaan.
Dia sungguh-sungguh tidak menyukai hobiku, (tidak mempengaruhi tugas kewajibanku), dikatakannya tidak berguna. Dia membuat kami merasa berdosa setiap kali kami datang berkunjung pada hari-hari tertentu, tetapi ketika ku katakan akan mengambil seorang baby sister dia merasa dihina.
Kadang-kadang aku ingin menitipkan bayiku kepada ibu, tetapi dia berbuat seolah-olah baik hati untuk menutupi keegoisannya, dan sama sekali tidak mau mendengar kata-kataku.
Kesalahan-kesalahan si nenek begitu menonjol, sampai kemungkinan tidak terpikir oleh anda untuk mendiskusikannya. Situasi yang agak berlebih-lebihan ini sebenarnya, dalam keadaan biasa, disebabkan oleh alasan yang bisa dimaklumi. Nenek itu bukan hanya “Egois” dan “Angkuh” saja, dia sangat cemburu.
Tetapi harus diingat juga bahwa kita baru mendengar dari satu pihak. Meskipun mungkin cerita dari pihak nenek membuat kita punya pertimbangan lain, pada prinsipnya tidak mungkin terjadi bertepuk sebelah tangan. Kedua belah pihak berperan dalam menciptakan konflik.
Tentu saja saya tidak bisa mengetahui dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi dengan ibu muda diatas. Tetapi dari beberapa kasus yang saya ketahui persoalan utamanya adalah sang ibu tidak mampu bertahan dari sifat suka campur tangan nenek. Mungkin anda anggap sya tidak adil menilai ibu itu terlalu gampang menyerah. Dia telah memegang prinsipnya baik-baik (tentang soal kebelakang, makan, dan penjagaan), tetapi ketika sampai pada baby sister dia menyerah. Dia khawatir menyakiti hati nenek. Ini bukti bahwa dia selalu merasa dipihak yang salah, baik kalah atau menang dalam pertentangan pendapat. Ini tidak benar.
Persoalan utama semua perentangan adalah ketakutan ibu menyakiti hati nenek, atau membuatnya marah. Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, kurangnya pengalaaman. Apabila telah beberapa kali melahirkan tentu ibu muda itu tidak akan begitu khawatir. Hal yang sama sesungguhnya terjadi juga pada hampir semua remaja putri. Yang merasa menjadi saingan ibunya. Dia berfikir, sekarang ini gilirannya untuk menjadi cantik, ibunya tinggal menonton saja dibalik pintu. Pendapat semacam ini terjadi hanya ketika dia mulai menginjak masa Adolesen. Pada gadis-gadis yang dididik baik-baik, reaksinya selalu disertai rasa bersalah. Sekalipun mungkin dia ada dipihak yang benar, akhirnya toh mengalah juga ada persainagn semacam ini. Dibawah sadarnya, menantu merasa berhasil merebut dan memiliki anak kesayanagn mertua. Bagi yang besar rasa percaya dirinya kemenangan ini akan dinikmati menantu yang terlalau besar timbang rasa justu merasa berdosa, apalagi kalau yang dihadapinya ibu mertua yang suka menguasai dan mencela.
Penyebab yang palaing nayata adalah karakter ibu mertua (Nenek). Bukan hanya karena dihasilkan campur tangan memerintah dan cemburu, tetapi beberapa pandainya memanfaatkan kesensitifan menantunya. Ketakutan menyakiti perasaan mertua dijadikan alat. Mertua menunjukkan perasaan terluka pada tiap kesempatan. Semakin jengkel ibu semakin takut dia memperlihatkannya. Tidak tahu bagaimana mengunggkapkan sakit hatinya sendiri. Seperti mobil yang terpelosok kedalam lumpur, makin berputar rodanya makin dalam lubang yang dibuat. Hari berganti hari akhirnya ibu itu merasa tidak ada artinya bersakit-sakit terus menerus kemudian dia mencoba mencari pelampiasan. Mengasihani diri sendiri, tenggelam dalam kesedihan dan menikmati kedongkolan kita. Ada lagi yang menyiar-nyiarkan kesengsaraannya dan menikmati simpati orang lain. Kepuasan yang diperoleh akhirnya menggantikan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana caranya sang ibu membebaskan diri dari dominsi nenek ? memang sulit pada mulanya, tetapi bisa dicoba, dilaksanakan tahap demi tahap.
Seorang ibu atau ayah harus berkeyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas bayi itu, dalam hak, moral maupun pelaksanaannya. Jadi merekalah yang wajib membuat keputusan. Ibu bisa mencari hubungan dari dokter (yang pasti membantu mereka karena paling tidak pernah diragukan nasehat medisnya oleh nenek-nenek tertentu !). ayah pun harus berada di pihak ibu, kalaupun menurutnya si ibu (nenek) yang benar, dia harus menunggu dan berbicara diam-diam diluar pengetahuan ibunya.
Yang paling utama adalah ibu itu sendiri. Dia harus berusaha membuang jauh-jauh kekhawatirannya yang tidak beralasan dan kalau mungkin menebalkan muka, sehingga dia bisa berjalan terus tanpa gangguan masalah. Sekali-sekali perlu juga dia memuntahkan kemarahan untuk mengembalikan kepercayaan diri. Tetapi kemarahan yang keluar setelah menumpuk beberapa waktu justru bisa menjadi pertanda bahwa dia sebenarnya merasa takut. Lebih baik menyampaikan penolakan yang mantap. Dengan kata-kata yang diucapkan jelas dan tenang. (“begini yang paling cocok untuk aku dan bayiku,” atau, “memang demikian menurut dokter.”) cara ini lebih efektif untuk menunjukkan bahwa anda punya pendirian.
Ibu bisa saja mengambil baby sister atau menitipkan bayi kepada ibunya sendiri kalau perlu. Bila ibu mertua merasa diremehkan, pura-pura saja tidak tahu. Beraksilah seolah-olah itu tindakan yang wajar, pembicaraan tentang hal itu sebisanya dihindari kalau didesak juga ibu bisa menjawabnya tanpa mendebat dan membelokkan pembicaraan dengan sopan. Kalau kemudian nenek mengerutu, mengatakan bahwa mudah-mudahan anak yang kedua nanti lebih mirip keluarganya, ibu bisa menguraukannya juga. Dia bergurau tentang hal itu tanpa memperlihatkan sakit hati. Pokoknya, ibu harus menghindar dari sikap diserang, membuang sakit hati, dan mencoba untuk tidak muda naik darah.
Kita telah membicarakan sifat ibu dan nenek terus menerus sehingga melupakan hal yang mendasar ini, yaitu pertentangan abadi antar dua wanita tentang hal-hal semacam ini. Memberi makan latihan kebelakang, menjaga anak darai kecelakaan- kecelakaan kecil dan membiarkannya mempelajari sendiri segala sesuatu. Persoalannya beranjak dari perbedaan antara dua kepribadian. Skalipun sesungguhnya keduanya kan melakukan tindakan yang sama, keduanya akan terus berdebat sampai habis teori yang pernah ditemukan manusia tentang membesarkan anak.
Tatacara mengasuh anak memang mengalami perubahan besar akhir-akhir ini sehingga para nenek yang mendapat nasehat-nasehat pada masa mudanya tidak bisa memahami cara-cara anak sekarang ini dibesarkan. Dan untuk bersimpati kepada nenek, ibu-ibu muda menghayalkan adanya ide-ide fantastis baru, seperti memberi makan garpu goreng kepada bayi atau memandikannya dengan air dingin.
Sebagian besar ayah ibu dan nenek menggunakan perbedaan metode lama dan baru sebagai senjata. Sesungguhnya tidak ada jeleknya, kecuali jika menjadi bahan peperangan untuk tahun-tahun berikutnya.
Ada kepercayaan bahwa sebaiknya keluarga yang baru, memisahkan diri dari orangtua masing- masing. Kakek nenek sebisa-bisanya juga tidak ikut campur mengenai urusan mengasuh anak. Pendapat ini ada benarnya untuk masa-masa permulaan, ketika transisi masih berlangsung. Tetapi untuk selanjutnya ayah ibu akan lebih bersyukur mendapat nasehat-nasehat penting dari orang yang benar-benar berpengalaman, yaitu nenek. Nasehat tanpa pamrih dan bantuan yang tulus, ibu yang tinggal serumah atau dekat dngan nenek dan bisa menyesuaikan diri dengannya akan mendapat dukungan moral yang besar, terutama pada minggu-minggu pertama anak di rumah. Hampir selalu ada perkembangan baru atau penyakit baru yang harus diatasi dengan penuh keahlian, sekalipun untuk itu ada dokter dan perawat. Ibu yang berpikiran dewasa akan mampu meminta nasehat dimana perlu dan tidak takut dikuasai. Jika ia tidak cocok dengan nasehat itu pun tidak akan ada masalah. Dikerjakannya apa yang baik menurut dia. Dengan posisi demikian nenek juga merasa aman. Memberi nasehat dimana perlu, tanpa khawatir ibu terganggu, atau mengalah kalau nasehatnya dianggap tidak sesuai.
Terlalu mulukkah itu ?   Menurut saya tidak. Salah satu tanda kedewasaan orang adalah mampu untuk meminta nasehat atau bantuan. Lebih penting lagi, pergaulan yang menyenangkan antara ayah dan ibu dengan nenek menghasilkan manfaat dan kebahagiaan pula bagi anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar