Beberapa waktu yang lalu saya menerima surat bernada murung
:
Sejak
tulisan anda yang mengatakan bahwa sesungguhnya nenek bukanlah pembuat masalah,
malah menanggung masalah, saya dan ibu-ibu
muda lain ingin melemparkan buku itu kemuka mereka. Percayalah, memang
sesungguhnya nenek yang mencari-cari perkara.
Bibit
kesulitan yan pertama muncul ketika aku mulai hamil. Mertuaku hampir selalu
mengatakan, “Mudah-mudahan anak itu nanti mirip ayahnya,” atau, “Kuharap dia
nanti sepintar ayahnya”.
Kemudian
ketika bayi itu telah lahir, aku selalu menjadi sasaran kesalahan, khususnya
mengenai latihan kebelakang (menurutnya harus dengan disiplin keras), lalu
penolakanku untuk memasakkan makanan. Lalu kebiasaanku membiarkan anakku
memeriksa segala sesuatu sendiri yang akhirnya menghasilkan berantakan
disana-sini. Menurut mertuaku dia berpengalaman, jadi lebih tahu akan segala
sesuatu dan patut diturut segala nasehatnya. Memang ku akui aku menolak
nasehatnya yang baik hanya karena disampaikan dengan cara diktator. Tetapi hal
itu diterimanya sebagai sentimen pribadi atau penghinaan.
Dia sungguh-sungguh tidak
menyukai hobiku, (tidak mempengaruhi tugas kewajibanku), dikatakannya tidak
berguna. Dia membuat kami merasa berdosa setiap kali kami datang berkunjung
pada hari-hari tertentu, tetapi ketika ku katakan akan mengambil seorang baby
sister dia merasa dihina.
Kadang-kadang aku ingin
menitipkan bayiku kepada ibu, tetapi dia berbuat seolah-olah baik hati untuk
menutupi keegoisannya, dan sama sekali tidak mau mendengar kata-kataku.
Kesalahan-kesalahan si nenek
begitu menonjol, sampai kemungkinan tidak terpikir oleh anda untuk
mendiskusikannya. Situasi yang agak berlebih-lebihan ini sebenarnya, dalam
keadaan biasa, disebabkan oleh alasan yang bisa dimaklumi. Nenek itu bukan
hanya “Egois” dan “Angkuh” saja, dia sangat cemburu.
Tetapi harus diingat juga bahwa
kita baru mendengar dari satu pihak. Meskipun mungkin cerita dari pihak nenek
membuat kita punya pertimbangan lain, pada prinsipnya tidak mungkin terjadi bertepuk
sebelah tangan. Kedua belah pihak berperan dalam menciptakan konflik.
Tentu saja saya tidak bisa
mengetahui dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi dengan ibu muda diatas.
Tetapi dari beberapa kasus yang saya ketahui persoalan utamanya adalah sang ibu
tidak mampu bertahan dari sifat suka campur tangan nenek. Mungkin anda anggap
sya tidak adil menilai ibu itu terlalu gampang menyerah. Dia telah memegang
prinsipnya baik-baik (tentang soal kebelakang, makan, dan penjagaan), tetapi
ketika sampai pada baby sister dia menyerah. Dia khawatir menyakiti hati nenek.
Ini bukti bahwa dia selalu merasa dipihak yang salah, baik kalah atau menang
dalam pertentangan pendapat. Ini tidak benar.
Persoalan utama semua perentangan
adalah ketakutan ibu menyakiti hati nenek, atau membuatnya marah. Ada beberapa
faktor penyebabnya. Pertama, kurangnya pengalaaman. Apabila telah beberapa kali
melahirkan tentu ibu muda itu tidak akan begitu khawatir. Hal yang sama
sesungguhnya terjadi juga pada hampir semua remaja putri. Yang merasa menjadi
saingan ibunya. Dia berfikir, sekarang ini gilirannya untuk menjadi cantik,
ibunya tinggal menonton saja dibalik pintu. Pendapat semacam ini terjadi hanya
ketika dia mulai menginjak masa Adolesen. Pada gadis-gadis yang dididik
baik-baik, reaksinya selalu disertai rasa bersalah. Sekalipun mungkin dia ada
dipihak yang benar, akhirnya toh mengalah juga ada persainagn semacam ini.
Dibawah sadarnya, menantu merasa berhasil merebut dan memiliki anak kesayanagn
mertua. Bagi yang besar rasa percaya dirinya kemenangan ini akan dinikmati
menantu yang terlalau besar timbang rasa justu merasa berdosa, apalagi kalau
yang dihadapinya ibu mertua yang suka menguasai dan mencela.
Penyebab yang palaing nayata
adalah karakter ibu mertua (Nenek). Bukan hanya karena dihasilkan campur tangan
memerintah dan cemburu, tetapi beberapa pandainya memanfaatkan kesensitifan
menantunya. Ketakutan menyakiti perasaan mertua dijadikan alat. Mertua
menunjukkan perasaan terluka pada tiap kesempatan. Semakin jengkel ibu semakin
takut dia memperlihatkannya. Tidak tahu bagaimana mengunggkapkan sakit hatinya
sendiri. Seperti mobil yang terpelosok kedalam lumpur, makin berputar rodanya
makin dalam lubang yang dibuat. Hari berganti hari akhirnya ibu itu merasa
tidak ada artinya bersakit-sakit terus menerus kemudian dia mencoba mencari
pelampiasan. Mengasihani diri sendiri, tenggelam dalam kesedihan dan menikmati
kedongkolan kita. Ada lagi yang menyiar-nyiarkan kesengsaraannya dan menikmati
simpati orang lain. Kepuasan yang diperoleh akhirnya menggantikan kebahagiaan
yang sesungguhnya.
Lalu bagaimana caranya sang ibu
membebaskan diri dari dominsi nenek ? memang sulit pada mulanya, tetapi bisa
dicoba, dilaksanakan tahap demi tahap.
Seorang ibu atau ayah harus
berkeyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas bayi itu, dalam hak, moral
maupun pelaksanaannya. Jadi merekalah yang wajib membuat keputusan. Ibu bisa
mencari hubungan dari dokter (yang pasti membantu mereka karena paling tidak
pernah diragukan nasehat medisnya oleh nenek-nenek tertentu !). ayah pun harus
berada di pihak ibu, kalaupun menurutnya si ibu (nenek) yang benar, dia harus
menunggu dan berbicara diam-diam diluar pengetahuan ibunya.
Yang paling utama adalah ibu itu
sendiri. Dia harus berusaha membuang jauh-jauh kekhawatirannya yang tidak
beralasan dan kalau mungkin menebalkan muka, sehingga dia bisa berjalan terus
tanpa gangguan masalah. Sekali-sekali perlu juga dia memuntahkan kemarahan
untuk mengembalikan kepercayaan diri. Tetapi kemarahan yang keluar setelah
menumpuk beberapa waktu justru bisa menjadi pertanda bahwa dia sebenarnya
merasa takut. Lebih baik menyampaikan penolakan yang mantap. Dengan kata-kata
yang diucapkan jelas dan tenang. (“begini yang paling cocok untuk aku dan
bayiku,” atau, “memang demikian menurut dokter.”) cara ini lebih efektif untuk
menunjukkan bahwa anda punya pendirian.
Ibu bisa saja mengambil baby
sister atau menitipkan bayi kepada ibunya sendiri kalau perlu. Bila ibu mertua
merasa diremehkan, pura-pura saja tidak tahu. Beraksilah seolah-olah itu tindakan
yang wajar, pembicaraan tentang hal itu sebisanya dihindari kalau didesak juga
ibu bisa menjawabnya tanpa mendebat dan membelokkan pembicaraan dengan sopan.
Kalau kemudian nenek mengerutu, mengatakan bahwa mudah-mudahan anak yang kedua
nanti lebih mirip keluarganya, ibu bisa menguraukannya juga. Dia bergurau
tentang hal itu tanpa memperlihatkan sakit hati. Pokoknya, ibu harus menghindar
dari sikap diserang, membuang sakit hati, dan mencoba untuk tidak muda naik
darah.
Kita telah membicarakan sifat ibu
dan nenek terus menerus sehingga melupakan hal yang mendasar ini, yaitu
pertentangan abadi antar dua wanita tentang hal-hal semacam ini. Memberi makan
latihan kebelakang, menjaga anak darai kecelakaan- kecelakaan kecil dan
membiarkannya mempelajari sendiri segala sesuatu. Persoalannya beranjak dari
perbedaan antara dua kepribadian. Skalipun sesungguhnya keduanya kan melakukan
tindakan yang sama, keduanya akan terus berdebat sampai habis teori yang pernah
ditemukan manusia tentang membesarkan anak.
Tatacara mengasuh anak memang
mengalami perubahan besar akhir-akhir ini sehingga para nenek yang mendapat
nasehat-nasehat pada masa mudanya tidak bisa memahami cara-cara anak sekarang
ini dibesarkan. Dan untuk bersimpati kepada nenek, ibu-ibu muda menghayalkan adanya
ide-ide fantastis baru, seperti memberi makan garpu goreng kepada bayi atau
memandikannya dengan air dingin.
Sebagian besar ayah ibu dan nenek
menggunakan perbedaan metode lama dan baru sebagai senjata. Sesungguhnya tidak
ada jeleknya, kecuali jika menjadi bahan peperangan untuk tahun-tahun
berikutnya.
Ada kepercayaan bahwa sebaiknya
keluarga yang baru, memisahkan diri dari orangtua masing- masing. Kakek nenek
sebisa-bisanya juga tidak ikut campur mengenai urusan mengasuh anak. Pendapat
ini ada benarnya untuk masa-masa permulaan, ketika transisi masih berlangsung. Tetapi
untuk selanjutnya ayah ibu akan lebih bersyukur mendapat nasehat-nasehat
penting dari orang yang benar-benar berpengalaman, yaitu nenek. Nasehat tanpa
pamrih dan bantuan yang tulus, ibu yang tinggal serumah atau dekat dngan nenek
dan bisa menyesuaikan diri dengannya akan mendapat dukungan moral yang besar,
terutama pada minggu-minggu pertama anak di rumah. Hampir selalu ada
perkembangan baru atau penyakit baru yang harus diatasi dengan penuh keahlian,
sekalipun untuk itu ada dokter dan perawat. Ibu yang berpikiran dewasa akan
mampu meminta nasehat dimana perlu dan tidak takut dikuasai. Jika ia tidak
cocok dengan nasehat itu pun tidak akan ada masalah. Dikerjakannya apa yang
baik menurut dia. Dengan posisi demikian nenek juga merasa aman. Memberi
nasehat dimana perlu, tanpa khawatir ibu terganggu, atau mengalah kalau
nasehatnya dianggap tidak sesuai.
Terlalu mulukkah itu ? Menurut saya tidak. Salah satu tanda
kedewasaan orang adalah mampu untuk meminta nasehat atau bantuan. Lebih penting
lagi, pergaulan yang menyenangkan antara ayah dan ibu dengan nenek menghasilkan
manfaat dan kebahagiaan pula bagi anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar