Kasus :
TRAGEDI GURU BUDI...
Tak pernah siapapun menduga Kamis kemarin, 1 Februari 2018,
hari terakhir guru muda Ahmad Budi Cahyono terakhir mengajar. Berhenti untuk
mengajar selama-lamanya. Berpulang ia meninggalkan duka. Pagi ini air mata
masih basah di Sampang, Madura.
Guru honorer mata pelajaran seni rupa di SMA Negeri 1
Torjun, Sampang, Madura itu masih sangatlah muda. Masih harum
berbunga pula kehidupannya, belum lama usia pernikahannya. Empat bulan buah
cinta dalam kandungan istrinya.
Guru Budi mengajar seperti biasa. Meski gaji pas-pasan
saja, ia terus mengabdikan dirinya.
Bakti dan imbalan kadang tak sejalan,
tapi ikhlas ia lakukan berharap suatu hari ia tak lagi jadi guru
honorer, semua harapan untuk menafkahi keluarga barunya.
Kamis kemarin, ia mengajar di kelas XI. Pelajaran menggambar
tengah dilakukan. HI, siswa itu tak
peduli, ia terus mengganggu teman-temannya,
bahkan kemudian bisa tidur seenaknya dalam kelas. Guru tak lagi
dihargai.
Guru Budi menegur, pipi si siswa dicoret cat air, bukannya
sadar. HI merangsek Guru Budi, memukuli
kepala gurunya sendiri. Pengganti orang tuanya itu tak lagi dihormati. Terus ia
pukuli jika teman-temannya tak melerai.
Tak sampai di situ, pulang sekolah murid durjana itu
menunggu Guru Budi dan kembali menganiaya.
Setiba di rumah, Guru
Budi merasakan sakit kepalanya, makin menjadi.
Tak sadarkan diri kemudian. Keluarga membawanya ke RS Dr Sutomo,
Surabaya. Semalam, sekitar pukul 21.40, Guru Budi berpulang. Diagnosis dokter
mati batang otak.
Guru Budi berpulang dipukuli muridnya sendiri. Tragedi yang
tak seharusnya terjadi. Hormat murid kepada guru tak seperti dulu. Sungkan
siswa kepada guru tak lagi banyak ditiru. Negeri nanti seperti tak berjiwa
lagi. Guru Budi meninggal karena matinya budi pekerti generasi.
Shinta, istri Guru Budi berduka tak terkira. Anak yang baru
empat bulan dikandungnya, lahir nanti tak ditunggui ayahnya. Yatim si anak pada
kelahirannya.
Shinta akan mengisahkan tentang Guru Budi, guru honorer di daerah terpencil yang
meninggal dianiaya muridnya sendiri, kepada anaknya.
Kabar yang tak muncul sebanyak berita lainnya di media
massa. Padahal inilah nilai dasar,
ketika murid mulai tak menghargai gurunya, ketika siswa bisa memukuli guru semaunya.
"Guru Budi itu ayahmu,
Nak," kata Shinta bertahun kemudian di hadapan pusara bertuliskan
Ahmad Budi Cahyono. Tangis terpendam. Masa meredam. Luka mendalam. Terdiam.
#sayabelajarhidup bersama Ursamsi Hinukartopati
Foto: Dok. Media
Madura
Kajian:
Djoko Hardianto (Psikolog)
Kejadian yang dialami Guru Budi menunjukkan bahwa pelaku butuh
“perhatian” yang ditunjukkan dengan “perilaku salah” berupa tidak konsentrasi
pada mata pelajaran yang berlangsung, dan terus melakukan kegiatan “usil” dengan
harapan jika yang terganggu itu jengkel/marah/sebal, dan lain-lain maka pelaku
akan “puas” dan “terpuaskan” oleh sikap isengnya tersebut.
Hal ini seringkali dilakukan oleh seseorang yang butuh
perhatian dan pengakuan akan keberadaan dirinya di lingkungan “mikro” dimana
dia berada.
Seseorang yang mempunyai tabiat/kebiasaan seperti itu, secara
implisit akan merasa terganggu/tersinggung manakala hal itu dihentikan bukan
atas dasar kemauannya sendiri.
Dorongan “under
control” bawah sadar yang akan menggerakkan pelaku melakukan hal-hal di
luar nalar. Terlebih jika pelaku telah “teracuni” dan terobsesi oleh kegiatan-kegiatan
leassure yang ekstrim misal game online ber-genre fighting and killing. Mengingat saat ini game-game seperti itu
menjadi top rank anak remaja awal
sampai remaja akhir (SMP – SMA) atau bahkan anak-anak di bawah umur.
Sungguh amat miris dan cukup memprihatinkan kondisi anak dan
remaja kita saat ini dampak perkembangan teknologi dan kurangnya benteng
keimanan pada diri seseorang yang menyebabkan mereka tergerus dan teracuni oleh
kesenangan semu yang menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar