2 Feb 2018

Dampak penularan game fighting and killing



Kasus :
TRAGEDI GURU BUDI...

Tak pernah siapapun menduga Kamis kemarin, 1 Februari 2018, hari terakhir guru muda Ahmad Budi Cahyono terakhir mengajar. Berhenti untuk mengajar selama-lamanya. Berpulang ia meninggalkan duka. Pagi ini air mata masih basah di Sampang,  Madura.

Guru honorer mata pelajaran seni rupa di SMA Negeri 1 Torjun,  Sampang,  Madura itu masih sangatlah muda. Masih harum berbunga pula kehidupannya, belum lama usia pernikahannya. Empat bulan buah cinta dalam kandungan istrinya.

Guru Budi mengajar seperti biasa. Meski gaji pas-pasan saja,  ia terus mengabdikan dirinya. Bakti dan imbalan kadang tak sejalan,  tapi ikhlas ia lakukan berharap suatu hari ia tak lagi jadi guru honorer, semua harapan untuk menafkahi keluarga barunya.

Kamis kemarin, ia mengajar di kelas XI. Pelajaran menggambar tengah dilakukan. HI,  siswa itu tak peduli, ia terus mengganggu teman-temannya,  bahkan kemudian bisa tidur seenaknya dalam kelas. Guru tak lagi dihargai.

Guru Budi menegur, pipi si siswa dicoret cat air, bukannya sadar.  HI merangsek Guru Budi, memukuli kepala gurunya sendiri. Pengganti orang tuanya itu tak lagi dihormati. Terus ia pukuli jika teman-temannya tak melerai.

Tak sampai di situ, pulang sekolah murid durjana itu menunggu Guru Budi dan kembali menganiaya.

Setiba di rumah,  Guru Budi merasakan sakit kepalanya, makin menjadi.  Tak sadarkan diri kemudian. Keluarga membawanya ke RS Dr Sutomo, Surabaya. Semalam, sekitar pukul 21.40, Guru Budi berpulang. Diagnosis dokter mati batang otak.

Guru Budi berpulang dipukuli muridnya sendiri. Tragedi yang tak seharusnya terjadi. Hormat murid kepada guru tak seperti dulu. Sungkan siswa kepada guru tak lagi banyak ditiru. Negeri nanti seperti tak berjiwa lagi. Guru Budi meninggal karena matinya budi pekerti generasi.

Shinta, istri Guru Budi berduka tak terkira. Anak yang baru empat bulan dikandungnya, lahir nanti tak ditunggui ayahnya. Yatim si anak pada kelahirannya.

Shinta akan mengisahkan tentang Guru Budi,  guru honorer di daerah terpencil yang meninggal dianiaya muridnya sendiri, kepada anaknya.

Kabar yang tak muncul sebanyak berita lainnya di media massa. Padahal inilah nilai dasar,  ketika murid mulai tak menghargai gurunya,  ketika siswa bisa memukuli guru semaunya.

"Guru Budi itu ayahmu,  Nak," kata Shinta bertahun kemudian di hadapan pusara bertuliskan Ahmad Budi Cahyono. Tangis terpendam. Masa meredam. Luka mendalam. Terdiam.

#sayabelajarhidup bersama Ursamsi Hinukartopati

Foto: Dok.  Media Madura


Kajian:
Djoko Hardianto (Psikolog)

Kejadian yang dialami Guru Budi menunjukkan bahwa pelaku butuh “perhatian” yang ditunjukkan dengan “perilaku salah” berupa tidak konsentrasi pada mata pelajaran yang berlangsung, dan terus melakukan kegiatan “usil” dengan harapan jika yang terganggu itu jengkel/marah/sebal, dan lain-lain maka pelaku akan “puas” dan “terpuaskan” oleh sikap isengnya tersebut.
Hal ini seringkali dilakukan oleh seseorang yang butuh perhatian dan pengakuan akan keberadaan dirinya di lingkungan “mikro” dimana dia berada.
Seseorang yang mempunyai tabiat/kebiasaan seperti itu, secara implisit akan merasa terganggu/tersinggung manakala hal itu dihentikan bukan atas dasar kemauannya sendiri.
Dorongan “under control” bawah sadar yang akan menggerakkan pelaku melakukan hal-hal di luar nalar. Terlebih jika pelaku telah “teracuni” dan terobsesi oleh kegiatan-kegiatan leassure yang ekstrim misal game online ber-genre fighting and killing. Mengingat saat ini game-game seperti itu menjadi top rank anak remaja awal sampai remaja akhir (SMP – SMA) atau bahkan anak-anak di bawah umur.
Sungguh amat miris dan cukup memprihatinkan kondisi anak dan remaja kita saat ini dampak perkembangan teknologi dan kurangnya benteng keimanan pada diri seseorang yang menyebabkan mereka tergerus dan teracuni oleh kesenangan semu yang menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar