7 Feb 2018

BISAKAH KITA MEMBAGI KASIH SAYANG SECARA ADIL TERHADAP SEMUA ANAK ?



Perasaan terhadap masing-masing anak berbeda-beda.
Beberapa ibu, (masing-masing dengan caranya sendiri), mengatakan, “Saya merasa bersalah, karena rasanya kurang cukup mengasihi satu anak sebesar kasih sayang kepada yang lain”. Ada juga yang dengan mantap menjawab pertanyaan dokter atau tetangga, “Tentu saja saya mencintai semua anak secara adil”.
Menurut pandangan saya, orangtua yang mengaku kurang adil membagi cinta adalah mereka yang terlalu berlebih-lebihan menyalahkan diri sendiri. Sedangkan mereka yang berusaha memperlihatkan keadilan secara mutlak adalah mencoba berbuat semua secara manusiawi.
Coba kita perhatikan kata “Cinta” itu sendiri. Kata yang mewakili berbagai ragam sikap dan perasaan. Bagi anak usia dua tahun misalnya, arti cinta adalah rasa ketergantungan untuk memperoleh perasaan aman. Cinta bisa juga berarti daya tarik fisik; rasa ingin memiliki, yang sampai batas tertentu selalu ada dalam persahabatan; rasa bersahabat yang berupa saling berbagi kesenangan, pikiran dan perasaan.
Yang kita permasalahkan adalah rasa cinta atau kasih orangtua kepada anaknya. Kita khususkan perhatian kepada dua hal yang termasuk didalamnya, yaitu rasa sayang dan rasa senang, agar bisa mengetahui, apakah orangtua bisa atau harus mengasihi anaknya secara adil.
Tentunya, ayah dan ibu mengasihi semua anak, dalam arti sayang kepada masing-masing anak. Mereka berusaha untuk adil. Ayah dan ibu mengaharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam hidup. Bila perlu mereka rela berkorban. Demi untuk menyelamatkan anaknya dari ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari rumah. Bahkan setelah anak dewasa orangtua tidak berhenti membantunya, meski sulit masalahnya, betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak dimasa lalu.
Ekstrim sekali tampaknya. Begitulah, memang ada bedanya dengan perasaan sayang kepada anak orang lain. Perasaan itu bisa lenyap atau berkurang, apabila kita dikecewakan. Bagi anak kandung tidak pernah ada kata terlalu. Anak tetap anak.
Kurangnya kasih sayang bisa berakibat serius pada anak. Beberapa kasus pada anak-anak di lembaga-lembaga anak nakal atau di pengadilan anak-anak, disebabkan oleh kurangnya kasih sayang. Memang, ada orangtua yang tidak mencintai anaknya. Disamping itu ada pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya. Kemudian mengembalikan anak tersebut. Setiap anak dalam sekali tanggapannya terhadap “Hilangnya” kasih sayang dan reaksinya pun sangat drastis. Anak-anak tersebut yidak lagi sama dengan anak-anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan dengan tujuan tertentu. Mereka tidak peduli tentang perbuaannya, tidak peduli kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri dengan kata lain, tidak peduli terhadap apapun.
Kasih sayang adalah bagian paling penting dari cinta orangtua. Tetapi apabila yang kita bicarakan perasaan senang orangtua keluarga pribadi masing-masing anak, wajar saja perasaan kepada yang satu tidak sama dengan yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki-laki disenangi karena dia laki-laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, lain lagi karena keberaniannya, kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Rasa senang itu mempunyai dasar yang berbeda-beda. Tidak mungkin kita sejajarkan alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya mensejajarkan kesengan berenang dengan kesenangan tehadap baju-baju bagus.
Tiap anak memiliki karakter sendiri, serta sifat-sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi yang kompleks terhadap karakter anak-anaknya. Misalnya ada orangtua membanggakan anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya, ada orangtua membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tak suka terhadap yang lain.
Bisa diambil kesimpulan pada diri anak terdapat gabungan bermacam-macam sifat. Sifat yang satu disukai oleh orangtuanya, yang lain tidak menimbulkan reaksi apa-apa, yang lainnya lagi menjengkelkan.
Hal semacam ini berlaku pada tiap orang, saling berkaitan satu dengan yang lain. Bisa saja terjadi, seseorang memiliki sifat-sifat yang sangat menarik bagi kita. Teap bagi orang lain sifatnya justru sangat mengganggu. Vice Versa, yang menonjol adalah sifat yang tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Meskipun demikian bisa pula berubah pandangannya kepada seseorang. Bila kita bersikap jujur, ternyata bahwa hal-hal yang menjengkelkan pada hari selasa, akan tidak ada artinya kalau terjadi pada hari senin. Saya menyadari, pada hari-hari tertentu setiap orang yang saya jumpai tampaknya sangat menyenagkan, sedang pada hari lain setiap orang kelihatan membosankan. Semua tergantung kepada suasana hati kita sendiri. Pernah saya mengenal orangtua yang bertahun-tahun sebelumnya selalu mengkritik perbuatan anaknya, pada suatu saat berubah sangat menyukainya. Hal ini ternyata bahwa anak itu telah berubah pula sifatnya.
Jadi, rasa cinta yang berupa kesenagan kepada sifat menarik, di bandingkan sifat lain yang menjengkelkan adalah masalah perseorangan dan bisa beruah-ubah dari waktu ke waktu.
Apakah sesungguhnya yang menjadi asal mula perasaan positif dan negatif pada diri kita ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kita merasa senang apabila anak memiliki sesuatu yang diinghinkan oleh orangtua kita. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan bangga dapat kita capai. Tiap keluarga mempunyai hal-hal semacam ini. Tetapi dalam pengembangannya kemudian, tiap orang ketika tumbuh mempunyai cita-cita sendiri, dipengaruhi tokoh kesayangannya dalam keluarga. Kalu cita-cita itu kelihatan pada anaknya, dia akan mendapatkan kebahagiaan khusus.
Kebalikannya, setiap tingkah laku yang dicela oleh suatu keluarga cenderung berlangsung dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya. Dan lagi, masing-masing kita pada masa pertumbuhan dahulu, tentu menjadi jengkel oleh pembawaan kakak atau adik atau orangtua yang meresahkan. Pokoknya kita merasa terganggu apabila ada diantara anak kita yang berkebiasaan atau berpemawaan seperti yang pernah kita miliki, tetapi tidak disukai oleh keluarga.
Tidak aneh apabila orangtua merasa sangat berbeda tanggapannya (baik atau buruk) terhadap karakter masing-masing anak. Ada yang sangat dekat  hubungannya, sampai-sampai seperti bagian dari dirinya, karena wajah atau tingkah lakunya mengingatkan kita kepada seseorang yang lain. Sistem demikian inilah yang membawa akibat, alam dan masyarakat menumbuhkan atau membuang kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Mungkin pada saat ini anda sudah mulai jengkel kepada saya, karena terlalu menyederhanakan perbedaan antara rasa sayang dan rasa senang, dan selalu menonjol-nonjolkan bahwa perasaan orangtua terhadap anak adalah perpaduan antara rasa senang dan jengkel. Kalau memang demikian perasan anda, maka anda berada pada posisi yang benar. Anda adalah salah satu dari orangtua yang tidak kacau pendapat mengenai hal ini.
Saya hanya mencoba cara yang masuk akal, untuk memahami kekhawatiran tentang hal ini. Banyak orangtua yang penuh tanggungjawab, merasa harus bisa menyamaratakan perasaannya pada semua anak, menyukai, memberi perhatian, kesabaran dan kemarahan yang sama banyak. Apabila tidak bisa mereka, merasa tidak berarti. Rasa bersalah membuat mereka menganggap diri kurang cukup mempunyai cinta. Hal ini justru akan mungkin meruwetkan hubungan mereka dengan sang anak.
Kesimpulannya adalah, orangtua tidak bisa atau tidak perlu mencoba berperasaan sama kepada setiap anak. Selanjutnya akan kita lihat masalahnya dari segi anak.
Saya tidak percaya, seorang anak benar-benar ingin orangtuanya merasakan (atau berpura-pura merasakan) kesenangan atau kejengkelan yang sama kepadanya, seperti saudaranya, setiap orang, kanak-kanak maupun orang dewasa hanya ingin disukai karena dirinya sendiri. Kita lebih senang tidak dibanding-bandingkan dengan orang lain, kalau orang yang kita sayangi mau mengasihi kita.
Setiap orang ingi mendapat tempat tersendiri di hati orang lain. Beberapa contoh dari kehidupan sehari-hari mungkin bisa lebih menjelaskannya daripada situasi yang ada dalam keluarga. Misalnya, kalau bos mengatakan, anda dan B adalah orang-orang yang paling berbakat di kantor itu. Kegembiraan anda segera hilang karena menyadari bahwa B adalah saingan berat anda. Akan lain halnya bila dikatakan, “Pak/ Bu anu, pekerjaan anda selama ini baik sekali”. Atau, seorang teman yang anda hargai pendapatnya, memuji-muji bahwa dan dandanan baju anda secakap M (yang tidak anda sukai), anda pasti kecewa. Seharusnya dikatakan, “Anda cantik sekali mengenakan baju ini”. Atau seorang teman, yang punya cita rasa seni dekorasi, mengobral pujiannya tentang dekorasi rumah T, kemudian, untuk kesopanan mengatakan “Rumah anda pun sangat menarik”. Basa-basi macam ini justru menjengkelkan.
Begitu pula dengan sang anak. Dia tidak akan merasa senang dengan saudaranya. Apalagi perasaan yang dipaksakan. Cara-cara ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Ada keluhan dari seorang ibu yang anak-anaknya tidak mau kalah satu sama lain, bahwa mereka itu sama sekali tidak boleh dibedakan. Kalau terjadi juga, ibulah yang diomeli.
Seorang anak tidak hanya ingin juga dimarahi seperti orangtua memarahi saudaranya yang lain. Dia tahu bahwa kelakuannya itu salah, atau keliru. Dia telah mencoba untuk mengatasi, tapi sebenarnya ia membutuhkan bantuan orangtuanya. Bila kemudian ayah dan ibunya marah dan menghukum, sesuai dengan aturan keluarga, dia akan merasa lebih baik.
Menurut saya, tindakan yang terbaik orangtua  adalah menyadari bahwa mereka hanya manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangan baik yang rasional maupun yang tidak rasional. Perasaan kita yang wajar kepada semua anak, menyukai kebaikannya, membantu mengatasi tingkahlaku yang kurang baik, adalah pemberian kita yang terbaik kepadanya. Apabila kita selalu mempertanyakan keadilan itu, reaksi-reaksi kita tidak lagi sewajarnya. Bukankah penghargaan tulus yang kita inginkan ?
Masih ada yang kurang jelas ? Baiklah, diskusi kita lanjutkan selangkah lagi, mencoba secara teoritis menjelaskan sebab-sebab kurang sabar terhadap anak-anak tertentu. Kita cari dasarnya secara logis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar