Perasaan terhadap
masing-masing anak berbeda-beda.
Beberapa ibu, (masing-masing
dengan caranya sendiri), mengatakan, “Saya merasa bersalah, karena rasanya
kurang cukup mengasihi satu anak sebesar kasih sayang kepada yang lain”. Ada
juga yang dengan mantap menjawab pertanyaan dokter atau tetangga, “Tentu saja
saya mencintai semua anak secara adil”.
Menurut pandangan saya, orangtua
yang mengaku kurang adil membagi cinta adalah mereka yang terlalu
berlebih-lebihan menyalahkan diri sendiri. Sedangkan mereka yang berusaha
memperlihatkan keadilan secara mutlak adalah mencoba berbuat semua secara
manusiawi.
Coba kita perhatikan kata “Cinta”
itu sendiri. Kata yang mewakili berbagai ragam sikap dan perasaan. Bagi anak
usia dua tahun misalnya, arti cinta adalah rasa ketergantungan untuk memperoleh
perasaan aman. Cinta bisa juga berarti daya tarik fisik; rasa ingin memiliki,
yang sampai batas tertentu selalu ada dalam persahabatan; rasa bersahabat yang
berupa saling berbagi kesenangan, pikiran dan perasaan.
Yang kita permasalahkan adalah
rasa cinta atau kasih orangtua kepada anaknya. Kita khususkan perhatian kepada
dua hal yang termasuk didalamnya, yaitu rasa sayang dan rasa senang, agar bisa
mengetahui, apakah orangtua bisa atau harus mengasihi anaknya secara adil.
Tentunya, ayah dan ibu mengasihi
semua anak, dalam arti sayang kepada masing-masing anak. Mereka berusaha untuk
adil. Ayah dan ibu mengaharapkan semua anaknya berhasil dan berbahagia dalam
hidup. Bila perlu mereka rela berkorban. Demi untuk menyelamatkan anaknya dari
ancaman bahaya. Ketika anak masih kecil, mereka melarangnya bermain jauh dari
rumah. Bahkan setelah anak dewasa orangtua tidak berhenti membantunya, meski
sulit masalahnya, betapapun kecewanya orangtua terhadap perbuatan sang anak
dimasa lalu.
Ekstrim sekali tampaknya.
Begitulah, memang ada bedanya dengan perasaan sayang kepada anak orang lain.
Perasaan itu bisa lenyap atau berkurang, apabila kita dikecewakan. Bagi anak
kandung tidak pernah ada kata terlalu. Anak tetap anak.
Kurangnya kasih sayang bisa
berakibat serius pada anak. Beberapa kasus pada anak-anak di lembaga-lembaga
anak nakal atau di pengadilan anak-anak, disebabkan oleh kurangnya kasih
sayang. Memang, ada orangtua yang tidak mencintai anaknya. Disamping itu ada
pula orangtua angkat, setelah sekian lama tidak juga bisa mencintai anaknya.
Kemudian mengembalikan anak tersebut. Setiap anak dalam sekali tanggapannya
terhadap “Hilangnya” kasih sayang dan reaksinya pun sangat drastis. Anak-anak
tersebut yidak lagi sama dengan anak-anak nakal biasa, yang berbuat kenakalan
dengan tujuan tertentu. Mereka tidak peduli tentang perbuaannya, tidak peduli
kepada pendapat orang maupun kepada dirinya sendiri dengan kata lain, tidak
peduli terhadap apapun.
Kasih sayang adalah bagian paling
penting dari cinta orangtua. Tetapi apabila yang kita bicarakan perasaan senang
orangtua keluarga pribadi masing-masing anak, wajar saja perasaan kepada yang
satu tidak sama dengan yang lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin orangtua
memperlakukan anaknya dengan cara yang sama persis. Anak laki-laki disenangi
karena dia laki-laki, anak perempuan disenangi karena dia perempuan. Anak yang
satu karena keriangannya, yang lain karena kesungguhannya, lain lagi karena
keberaniannya, kelembutannya, kebijakannya atau karena kebengalannya. Rasa
senang itu mempunyai dasar yang berbeda-beda. Tidak mungkin kita sejajarkan
alasan itu antara yang satu dengan yang lainnya seperti mustahilnya
mensejajarkan kesengan berenang dengan kesenangan tehadap baju-baju bagus.
Tiap anak memiliki karakter
sendiri, serta sifat-sifat yang kompleks. Tiap orangtua juga memiliki pribadi
yang kompleks terhadap karakter anak-anaknya. Misalnya ada orangtua membanggakan
anak yang rajin belajar dan tidak senang keluyuran. Sebaliknya, ada orangtua
membanggakan anaknya yang gemar berolahraga dan tak suka terhadap yang lain.
Bisa diambil kesimpulan pada diri
anak terdapat gabungan bermacam-macam sifat. Sifat yang satu disukai oleh
orangtuanya, yang lain tidak menimbulkan reaksi apa-apa, yang lainnya lagi
menjengkelkan.
Hal semacam ini berlaku pada tiap
orang, saling berkaitan satu dengan yang lain. Bisa saja terjadi, seseorang
memiliki sifat-sifat yang sangat menarik bagi kita. Teap bagi orang lain
sifatnya justru sangat mengganggu. Vice Versa, yang menonjol adalah sifat yang
tidak kita senangi, maka sifat baiknya tidak kita rasakan. Meskipun demikian
bisa pula berubah pandangannya kepada seseorang. Bila kita bersikap jujur,
ternyata bahwa hal-hal yang menjengkelkan pada hari selasa, akan tidak ada
artinya kalau terjadi pada hari senin. Saya menyadari, pada hari-hari tertentu
setiap orang yang saya jumpai tampaknya sangat menyenagkan, sedang pada hari
lain setiap orang kelihatan membosankan. Semua tergantung kepada suasana hati
kita sendiri. Pernah saya mengenal orangtua yang bertahun-tahun sebelumnya
selalu mengkritik perbuatan anaknya, pada suatu saat berubah sangat
menyukainya. Hal ini ternyata bahwa anak itu telah berubah pula sifatnya.
Jadi, rasa cinta yang berupa
kesenagan kepada sifat menarik, di bandingkan sifat lain yang menjengkelkan
adalah masalah perseorangan dan bisa beruah-ubah dari waktu ke waktu.
Apakah sesungguhnya yang menjadi
asal mula perasaan positif dan negatif pada diri kita ada. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa kita merasa senang apabila anak memiliki sesuatu yang
diinghinkan oleh orangtua kita. Sesuatu yang sampai ukuran tertentu dengan
bangga dapat kita capai. Tiap keluarga mempunyai hal-hal semacam ini. Tetapi
dalam pengembangannya kemudian, tiap orang ketika tumbuh mempunyai cita-cita
sendiri, dipengaruhi tokoh kesayangannya dalam keluarga. Kalu cita-cita itu
kelihatan pada anaknya, dia akan mendapatkan kebahagiaan khusus.
Kebalikannya, setiap tingkah laku
yang dicela oleh suatu keluarga cenderung berlangsung dari suatu generasi
kepada generasi selanjutnya. Dan lagi, masing-masing kita pada masa pertumbuhan
dahulu, tentu menjadi jengkel oleh pembawaan kakak atau adik atau orangtua yang
meresahkan. Pokoknya kita merasa terganggu apabila ada diantara anak kita yang
berkebiasaan atau berpemawaan seperti yang pernah kita miliki, tetapi tidak disukai
oleh keluarga.
Tidak aneh apabila orangtua
merasa sangat berbeda tanggapannya (baik atau buruk) terhadap karakter
masing-masing anak. Ada yang sangat dekat hubungannya, sampai-sampai seperti bagian dari
dirinya, karena wajah atau tingkah lakunya mengingatkan kita kepada seseorang
yang lain. Sistem demikian inilah yang membawa akibat, alam dan masyarakat
menumbuhkan atau membuang kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Mungkin pada saat ini anda sudah
mulai jengkel kepada saya, karena terlalu menyederhanakan perbedaan antara rasa
sayang dan rasa senang, dan selalu menonjol-nonjolkan bahwa perasaan orangtua
terhadap anak adalah perpaduan antara rasa senang dan jengkel. Kalau memang
demikian perasan anda, maka anda berada pada posisi yang benar. Anda adalah
salah satu dari orangtua yang tidak kacau pendapat mengenai hal ini.
Saya hanya mencoba cara yang
masuk akal, untuk memahami kekhawatiran tentang hal ini. Banyak orangtua yang
penuh tanggungjawab, merasa harus bisa menyamaratakan perasaannya pada semua
anak, menyukai, memberi perhatian, kesabaran dan kemarahan yang sama banyak.
Apabila tidak bisa mereka, merasa tidak berarti. Rasa bersalah membuat mereka
menganggap diri kurang cukup mempunyai cinta. Hal ini justru akan mungkin
meruwetkan hubungan mereka dengan sang anak.
Kesimpulannya adalah, orangtua
tidak bisa atau tidak perlu mencoba berperasaan sama kepada setiap anak.
Selanjutnya akan kita lihat masalahnya dari segi anak.
Saya tidak percaya, seorang anak
benar-benar ingin orangtuanya merasakan (atau berpura-pura merasakan)
kesenangan atau kejengkelan yang sama kepadanya, seperti saudaranya, setiap
orang, kanak-kanak maupun orang dewasa hanya ingin disukai karena dirinya
sendiri. Kita lebih senang tidak dibanding-bandingkan dengan orang lain, kalau
orang yang kita sayangi mau mengasihi kita.
Setiap orang ingi mendapat tempat
tersendiri di hati orang lain. Beberapa contoh dari kehidupan sehari-hari
mungkin bisa lebih menjelaskannya daripada situasi yang ada dalam keluarga.
Misalnya, kalau bos mengatakan, anda dan B adalah orang-orang yang paling
berbakat di kantor itu. Kegembiraan anda segera hilang karena menyadari bahwa B
adalah saingan berat anda. Akan lain halnya bila dikatakan, “Pak/ Bu anu,
pekerjaan anda selama ini baik sekali”. Atau, seorang teman yang anda hargai
pendapatnya, memuji-muji bahwa dan dandanan baju anda secakap M (yang tidak
anda sukai), anda pasti kecewa. Seharusnya dikatakan, “Anda cantik sekali
mengenakan baju ini”. Atau seorang teman, yang punya cita rasa seni dekorasi,
mengobral pujiannya tentang dekorasi rumah T, kemudian, untuk kesopanan
mengatakan “Rumah anda pun sangat menarik”. Basa-basi macam ini justru
menjengkelkan.
Begitu pula dengan sang anak. Dia
tidak akan merasa senang dengan saudaranya. Apalagi perasaan yang dipaksakan. Cara-cara
ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Ada keluhan dari seorang ibu
yang anak-anaknya tidak mau kalah satu sama lain, bahwa mereka itu sama sekali
tidak boleh dibedakan. Kalau terjadi juga, ibulah yang diomeli.
Seorang anak tidak hanya ingin
juga dimarahi seperti orangtua memarahi saudaranya yang lain. Dia tahu bahwa
kelakuannya itu salah, atau keliru. Dia telah mencoba untuk mengatasi, tapi
sebenarnya ia membutuhkan bantuan orangtuanya. Bila kemudian ayah dan ibunya
marah dan menghukum, sesuai dengan aturan keluarga, dia akan merasa lebih baik.
Menurut saya, tindakan yang
terbaik orangtua adalah menyadari bahwa
mereka hanya manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangan baik yang
rasional maupun yang tidak rasional. Perasaan kita yang wajar kepada semua
anak, menyukai kebaikannya, membantu mengatasi tingkahlaku yang kurang baik,
adalah pemberian kita yang terbaik kepadanya. Apabila kita selalu
mempertanyakan keadilan itu, reaksi-reaksi kita tidak lagi sewajarnya. Bukankah
penghargaan tulus yang kita inginkan ?
Masih ada yang kurang jelas ? Baiklah, diskusi kita lanjutkan selangkah
lagi, mencoba secara teoritis menjelaskan sebab-sebab kurang sabar terhadap
anak-anak tertentu. Kita cari dasarnya secara logis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar